Korupsi Bansos Pendidikan: Ironi Pahit di Balik Tuntutan Ringan bagi Arifin di Pandeglang
Majalah Banten– Dalam ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Serang pada Rabu (1/10/2025) malam, tercium bau ironi yang menyengat. Arifin, terdakwa korupsi dana bantuan sosial (bansos) Kemendikbud yang sempat buron selama lima tahun, akhirnya menghadapi tuntutan 1 tahun 9 bulan penjara. Tuntutan yang oleh banyak pengamat dinilai tidak sebanding dengan kerugian negara dan dampak sosial yang ditimbulkannya.
Jejak Kelam Korupsi yang Menyasar Dunia Pendidikan
Kasus ini bermula dari tahun 2015, ketika Arifin bersama tiga rekannya—Rohman, Asep Saifudin, dan Elvie Sukaesih—merancang sistem pemotongan terhadap dana bansos Kemendikbud yang seharusnya disalurkan kepada Majelis Taklim dan PAUD di Pandeglang. Dengan modus mengumpulkan lembaga pendidikan untuk diajukan sebagai penerima bantuan, mereka kemudian menetapkan “syarat” pencairan yang kejam: pemotongan dana hingga 60 persen.

Baca Juga: Program Makan Bergizi Gratis di Lingga Dihantui Perjanjian Bermasalah
Yang membuat kasus ini begitu memilukan adalah sasaran korban yang mereka pilih: lembaga-lembaga pendidikan dasar dan keagamaan yang seharusnya menjadi penopang masa depan bangsa. Dana sebesar Rp306 juta yang dicairkan untuk 22 lembaga di Pandeglang ternyata hanya menyisakan Rp76,5 juta yang benar-benar sampai ke tangan penerima manfaat. Artinya, sekitar Rp230 juta habis dikavling oleh para terdakwa.
Buron Lima Tahun: Sebuah Ejekan terhadap Sistem Peradilan
Fakta bahwa Arifin sempat buron selama lima tahun setelah ditetapkan sebagai tersangka menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keseriusan penegak hukum dalam mengejar koruptor. Bagaimana mungkin seorang tersangka kasus korupsi yang merugikan negara dan masyarakat rentan bisa menghilang dari radar hukum selama setengah dekade?
Masa buron yang panjang ini bukan hanya memperpanjang penderitaan para korban—para pengelola PAUD dan Majelis Taklim yang seharusnya mendapat bantuan—tetapi juga mengirim pesan keliru bahwa pelaku korupsi masih memiliki ruang untuk bermain dengan waktu.
Tuntutan yang Mengundang Tanya
Dalam sidang tuntutan, JPU Kejari Pandeglang Rista Anindya Nisman menuntut Arifin dengan hukuman 1 tahun 9 bulan penjara, denda Rp50 juta, serta kewajiban membayar uang pengganti Rp96,454,000 dari total kerugian negara Rp230 juta.
Pertanyaannya: mengapa uang pengganti yang dituntut tidak sesuai dengan total kerugian? Dan mengapa tuntutan pidana hanya 1 tahun 9 bulan untuk kasus yang melibatkan penyalahgunaan kepercayaan dan merampas hak pendidikan anak-anak?
Jaksa beralasan adanya faktor peringatan—Arifin tidak pernah dihukum, mengakui perbuatannya, dan bersikap sopan selama persidangan. Namun, bukankah justru lebih berat dosa moral seseorang yang menyalahgunakan dana untuk pendidikan sambil bersikap sopan di pengadilan?
Dampak Riil yang Terabaikan
Yang sering terlupakan dalam angka-angka kerugian negara adalah dampak riil terhadap masyarakat. Setiap rupiah yang dikorupsi dari bansos pendidikan ini sebenarnya adalah investasi untuk masa depan anak-anak. PAUD yang kekurangan dana berarti kehilangan kesempatan untuk menyediakan alat permainan edukatif, makanan bergizi, atau fasilitas belajar yang layak. Majelis Taklim yang dananya dipotong terpaksa mengurangi kualitas pengajaran atau bahkan menutup program.
Ironisnya, kasus ini terjadi di Pandeglang—salah satu daerah yang masih membutuhkan banyak intervensi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Data Kemendikbud menunjukkan bahwa indeks pembangunan pendidikan di Pandeglang masih di bawah rata-rata nasional, membuat bansos yang seharusnya menjadi penopang justru berubah menjadi mimpi buruk.
Sistem yang Membuka Celah Korupsi
Kasus Arifin dan tiga rekannya bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Ini adalah gejala dari sistem pengawasan bansos yang masih lemah. Beberapa pertanyaan kritis perlu diajukan:
-
Bagaimana mungkin pemotongan 60% bisa terjadi tanpa diketahui oleh sistem pengawasan internal Kemendikbud?
-
Apakah mekanisme penyaluran bansos sudah dilengkapi dengan verifikasi dan monitoring yang ketat?
-
Mengapa pelaku bisa dengan mudah mengumpulkan lembaga penerima tanpa proses seleksi yang transparan?
Fakta bahwa kasus ini terungkap melalui audit BPKP, bukan dari sistem pengawasan internal, menunjukkan betapa rentannya mekanisme penyaluran bansos terhadap praktik korupsi.
Refleksi untuk Perbaikan Sistem
Kasus korupsi bansos Kemendikbud di Pandeglang ini seharusnya menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penyaluran bansos pendidikan. Beberapa langkah perbaikan yang mendesak untuk dilakukan:
-
Transparansi total dalam proses seleksi penerima bansos, termasuk publikasi daftar penerima dan nominal bantuan.
-
Mekanisme pengaduan yang mudah diakses masyarakat untuk melaporkan dugaan penyimpangan.
-
Audit rutin dan mendadak oleh inspektorat jenderal terhadap penyaluran bansos.
-
Sanksi yang lebih berat bagi koruptor bansos pendidikan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak dasar masyarakat.
-
Pendampingan kepada penerima bansos untuk memahami hak dan kewajibannya.