Titik Balik Kepemimpinan dan Hukum di Banten
Majalah Banten– Provinsi Banten memasuki pekan pertama Oktober dengan dua peristiwa penting yang mencerminkan dinamika birokrasi dan penegakan hukum. Di satu sisi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten mulai melakukan langkah strategis dengan mengisi 20 lowongan jabatan eselon II secara bertahap. Di sisi lain, dunia usaha dikejutkan dengan tuntutan pidana 4 tahun penjara terhadap Ketua Kadin Cilegon nonaktif, Muhamad Salim, dalam kasus yang melibatkan proyek investasi besar.
Pemprov Banten: Pengisian Jabatan Kosong Butuh Ketelitian dan Proses
Pemerintahan Gubernur Al Muktabar mulai mengakselerasi pembenahan internal dengan memprioritaskan pengisian 19 jabatan lowong eselon II, ditambah satu jabatan baru hasil pembentukan Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra). Total, dibutuhkan 20 orang pejabat untuk menggerakkan roda birokrasi.
“Pengisian jabatan ini akan dilakukan secara bertahap dan tentu dengan mempertimbangkan aspek kompetensi serta prosedur yang berlaku,” ujar seorang sumber di lingkungan Setda Pemprov Banten kepada Radar Banten, Senin (6/10).
Baca Juga: Pemerintah Provinsi Banten Genjot Normalisasi Sungai Cibanten untuk Atasi Banjir
Namun, dari sekian banyak jabatan, satu posisi kunci masih terbentur regulasi nasional, yaitu jabatan Inspektor Daerah (Irda). Posisi pengawas internal pemerintah ini tidak dapat diisi secara langsung karena mekanisme pengangkatannya harus melalui seleksi oleh sebuah Panitia Seleksi (Pansel) yang pembentukannya wajib dikonsultasikan kepada Menteri Dalam Negeri.
Hal ini merujuk pada Surat Edaran Mendagri Nomor 800.1.3.3/3471/SJ. “Proses konsultasi dengan Kemendagri sedang dipersiapkan. Kita semua ingin posisi penting ini segera terisi, tetapi harus sesuai koridor hukum yang ada,” tambah sumber tersebut.
Kosongnya jabatan Inspektor Daerah dalam jangka waktu yang lama dikhawatirkan dapat melemahkan fungsi pengawasan internal Pemprov, terutama dalam mengawasi kinerja dan penggunaan anggaran di berbagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Kasus Kadin Cilegon: Investasi dan Ancaman Hukum
Sementara di ruang sidang Pengadilan Negeri Serang, atmosfernya tegang. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Cilegon, Febby Febrian, dengan lantang menuntut Ketua Kadin Kota Cilegon nonaktif, Muhamad Salim, dengan hukuman 4 tahun penjara.
Salim dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penghasutan dan ancaman terhadap kontraktor pembangunan pabrik kimia PT Chandra Asri Alkali, PT China Chengda Engineering. Perbuatan terpidana dinilai telah menghambat iklim investasi dan menciptakan rasa tidak aman bagi pelaku usaha.
“Perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur dalam Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan dan Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan,” tegas Febby dalam pledoinya.
Kasus ini menjadi perhatian serius kalangan industri di Cilegon. Kadin yang seharusnya menjadi mitra pemerintah dalam menarik investasi, justru tercoreng oleh kasus hukum yang melibatkan pimpinannya. Putusan hakim nantinya akan menjadi pesan kuat apakah Banten benar-benar berkomitmen menciptakan ekosistem bisnis yang kondusif dan bebas dari intimidasi.
Pemkot Serang Batalkan Rencana Pinjaman Rp100 Miliar
Di luar dua berita utama tersebut, Pemerintah Kota (Pemkot) Serang membuat keputusan finansial yang berhati-hati. Wali Kota Serang, secara resmi membatalkan rencana peminjaman dana senilai Rp100 miliar yang sebelumnya digadang-gadang untuk membangun ulang Pasar Induk Rau (PIR).
Keputusan ini bukan tanpa alasan. Kebijakan pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU) dari Pemerintah Pusat memaksa Pemkot Serang untuk meninjau ulang kesehatan fiskalnya. Pemotongan DAU yang mencapai Rp186 miliar pada tahun 2026 telah membatasi ruang gerak anggaran daerah.
“Dalam kondisi fiskal yang harus dijaga ketat, menambah beban utang bukanlah langkah yang bijaksana. Kami memilih untuk membatalkan rencana pinjaman ini,” jelas Sekretaris Daerah Kota Serang.
Selain faktor keuangan, kendala teknis juga menjadi penghalang. Status pengelolaan Pasar Induk Rau hingga saat ini masih berada di tangan pihak ketiga. Tanpa kejelasan status kepemilikan dan pengelolaan, proyek revitalisasi dinilai akan sia-sia dan berpotensi menimbulkan sengketa di kemudian hari.
“Langkah sekarang adalah menunggu hasil kajian teknis dan finansial yang komprehensif dari tim yang telah dibentuk. Setelah semua jelas, baru kita bisa mengambil keputusan yang tepat untuk masa depan PIR,” pungkasnya.